اَلسَّلَامُ عَلَيْكُم بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
LCD Text Generator at TextSpace.net
LCD Text Generator at TextSpace.net
small rss seocips Murottal Qur'an
Sambil dengerin ngaji yuukk, baca postingannya, klik tombol play nya !!!

Saturday, March 26, 2016

Abu Darda (Uwaimar bin Malik Al Khajrajy)

“Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan
dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf)

Uwaimar bin Malik Al Khajrajy yang disebut dengan Abu Darda
bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia

pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu
memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum
terbaik berasal dari tokonya. Kemudian ia memakaikan pakaian pada
berhala tersebut yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh
salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.
Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya
untuk pergi ke toko.
Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad.
Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka
terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari
mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang
berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda tersebut tentang
kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab:
“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah
kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.”
Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.
Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar
Abdullah bin Rawahah, karena ia tahu bahwa semua manusia terkait
dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua.
Hal itu dikarenakan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya
bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau
menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya.
Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka
berdua. Karena Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu
Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi
71
Al Khajrajy adalah nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman,
Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus adalah dua kabilah terbesar kaum
Anshar.
72
Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy adalah seorang penyair terkenal. Dia juga salah
seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah
pada tahun 8 H. Dia adalah salah seorang dari ketiga panglima dalam perang tersebut.


semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas
setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang
musyrik.

Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai
melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya.
Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah
sahabatnya Abu Darda karena ia menginginkan suatu hal…
Begitu Abdullah sampai di rumah tersebut, ia melihat pintu rumah
terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan
rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia
menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah
bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya,
sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan
aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda
mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya.
Ummu Darda kemudian membiarkan Abdullah sendirian karena ia sibuk
dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.

Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda
menaruh berhalanya. Kemudian ia keluar dengan membawa berhala tadi.
Ia menghampiri berhala tersebut dan mulai memotong-motongnya sambil
berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil?
Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil?”
Begitu ia selesai memotong-motong berhala tersebut, ia pun
meninggalkan rumah itu.

Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia
tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati
bagian tubuh berhala tersebut sudah terburai di tanah. Ia lalu memukulmukul
pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu
Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”

Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia
mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu
berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan
yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya

menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah
datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”
Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala tersebut telah
hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak
berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia
memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan
dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada
dirinya.”
Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah
sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Abu Darda
menyatakan masuk Islam, dan ia adalah orang terakhir dari kampungnya
yang masuk Islam.
Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya.
Ia amat menyesal karena telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia
mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah
mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang
dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah.
Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguhsungguh.
Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi
menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.
Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia
dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu
bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia
mendalami pemahamannya akan Al Qur’an.
Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan
ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan
perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.
Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku
adalah seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Saat aku masuk
Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan
tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan
perdagangan dan aku memilih ibadah.
Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku
tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid
sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat
berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” Kemudian ia
menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan
bahwa Allah Subhanu wata'ala telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih
menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh
perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”

Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga
meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan
dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat
dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya.
Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang
mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka
makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu
mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah
seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara
kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!”
Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan
pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya
duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa
selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas
atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku
meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barangbarangmu?!”
Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang
kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan
barang-barang tersebut di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada
kalian.
Kemudian dalam jalan yang kami susuri menuju rumah tersebut ada
sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih
baik daripada yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh
karenanya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat
melintasinya.” Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah
engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga
kebaikanmu dibalas.”

Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu
Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda
menolaknya. Abu Darda berkata:
“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan
kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat
mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya.
Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia
dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal
itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orangorang
pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan
berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian adalah saudara seagama, tetangga
negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk
Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan
menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah

diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah
tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian
mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian
meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku
dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!!
Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang
tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang
mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang
mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi
buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai
penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan
keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan
kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?”
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka
terdengar dari luar masjid.

Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di
Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang.
Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang
lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.

Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang
berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda
mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka
menjawab: “Dia adalah orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu
Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam
sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab:
“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela
dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah
kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian
untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya:
“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya
membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia
adalah saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri
bahwa dirinya bertaubat.

Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata:
“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam!” Abu Darda
berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan
73
‘Ad adalah kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka.


mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang
berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu.
Janganlah menjadi orang yang keempat karena engkau akan celaka. Wahai
anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang
yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan
masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat
menuju keridhaan Allah.

Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil
berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu
menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa
orang muslim adalah rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan
pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu
dapat memperdayakan.”

Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan
mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda
buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk
menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan
putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan
akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin
Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah
ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa.
Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu
Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.”
Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa
yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat
banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam
istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu
kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”

Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar
bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi
sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong
pintu rumahnya dan rupanya pintu tersebut tidak terkunci. Umar lalu
masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda
mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu
mempersilahkan ia duduk.

Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan
menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya.
Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia adalah
pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir…
Ia meraba selimutnya dan ternyata adalah sebuah kain tipis yang tidak
dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus.
Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku
sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan
(nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah
hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada kita?” Umar
bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah
bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh
seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu
apa yang telah kita lakukan setelah Beliau meninggal, wahai Umar?”
Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis.
Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.

Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada
penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an
dan hikmah sehingga ia wafat.
Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata:
“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka
bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan
Tuhanku.”
Kemudian ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin
aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus
mengucapkan kalimat tersebut sehingga ruhnya berpisah dari badan.

Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al
Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan
dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang
terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang
berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf
bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!”
Kemudian dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata:
“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Subhanu wata'ala dari Al Qur’an. Jika
engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa
yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang

belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terbersit dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?”
Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, karena ia
mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”


Sumber : Kisah Heroik 65 Orang Sahabat Rosulullah

No comments:

Post a Comment

Silakan Tuliskan Komentar Anda Tentang Blog Ini dan Juga Tentang Postingannya, Komentar dan Masukkan Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan Blog Ini

Beri Tahu Kami Jika Ada Link Download Yang Tidak Bekerja atau Tidak Bisa Dibuka
TERIMA KASIH...!!!