اَلسَّلَامُ عَلَيْكُم بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
LCD Text Generator at TextSpace.net
LCD Text Generator at TextSpace.net
small rss seocips Murottal Qur'an
Sambil dengerin ngaji yuukk, baca postingannya, klik tombol play nya !!!

Thursday, March 24, 2016

Abu Dzar Al Ghifary (Jundub Bin Junadah)

“Bumi Tidak Pernah Mengandung & Langit Tidak Pernah Menaungi
Orang yang Lebih Jujur Dari Abu Dzar.” (Muhammad Rasulullah)
Di lembah Waddan yang menyambungkan Mekkah dengan dunia luar

ada sebuah kabilah yang tinggal di sana bernama Ghifar.
Suku Ghifar ini hidup dari uang setoran yang diberikan oleh para
kafilah yang hendak melakukan perdagangan dari Quraisy ke Syam atau
sebaliknya.
Terkadang suku ini hidup dengan merampas para kafilah yang tidak
memberikan uang yang mereka pinta.
Jundub bin Junadah yang dikenal dengan Abu Dzar adalah salah
seorang dari penduduk kabilah ini. Akan tetapi berbeda dengan lainnya, ia
memiliki keberanian hati, otak yang cerdas dan wawasan yang luas. Dan ia
merasa tidak suka sekali dengan berhala-berhala yang disembah kaumnya
selain Allah Subhanu wata'ala. Ia menolak kerusakan agama dan akidah yang terjadi
pada kebanyakan bangsa Arab. Ia mencari tahu tentang munculnya
seorang Nabi yang baru untuk mengisi akal manusia dan hati mereka serta
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Lalu Abu Dzar-yang saat itu berada di kampungnya- mendengar kisah
tentang seorang Nabi yang baru dan muncul di kota Mekkah. Ia lalu
berkata kepada saudaranya bernama Anis: “Pergilah ke Mekkah dan carilah
kisah tentang orang yang mengaku Nabi itu dan mengkau menerima
wahyu dari langit. Dengarkanlah apa yang ia ucapkan dan sampaikan
kepadaku!”

Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ia berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam.
Ia pun mendengarkan beberapa sabda Beliau. Kemudian Anis kembali ke
desanya dan Abu Dzar lalu menghampirinya dengan penuh rasa ingin
tahu. Ia menanyakan Anis tentang kisah Nabi yang baru dengan penasaran.
Anis berkata: “Demi Allah, menurutku dia adalah seorang yang
mengajak untuk memperbaiki akhlak.  Ia mengucapkan beberapa kalimat
yang bukan syair.” Abu Dzar bertanya: “Apa pendapat orang tentang
dirinya?” Anis menjawab: “Mereka menyebutnya dengan penyihir, dukun
dan penyair.” Abu Dzar lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan merasa
puas. Maukah kau menjaga keluargaku agar aku berangkat ke sana dan
melihat dia dengan mata kepalaku sendiri?”
Anis menjawab: “Baik, akan tetapi waspadalah terhadap penduduk
Mekkah!”

Abu Dzar mempersiapkan bekal untuk berangkat. Ia membawa tempat
air kecil bersamanya. Keesokan harinya ia berangkat menuju Mekkah
untuk bertemu dengan Nabi Shallallahu 'alaih wasallam dan mengetahui kisah kenabian Beliau
langsung darinya.

Abu Dzar tiba di Mekkah dengan diam-diam karena khawatir akan
kejahatan penduduknya. Ia telah mendengar kemarahan Quraisy dalam
membela tuhan-tuhan mereka dan penyiksaan mereka terhadap orang
yang mengaku sebagai pengikut Muhammad Shallallahu 'alaih wasallam.
Oleh karenanya, ia enggan untuk bertanya tentang Muhammad Shallallahu 'alaih wasallam,
karena ia sendiri tidak tahu apakah orang yang ia tanyakan nanti termasuk
pendukung atau musuh Muhammad?
Begitu malam tiba, Abu Dzar berbaring di dalam Masjid. Lalu Ali ra
melintasi Abu Dzar dan Ali tahu  bahwa Abu Dzar adalah seorang
pendatang. Ali langsung berkata kepadanya: “Ikutilah kami, wahai
saudara! Abu Dzar pun mengikutinya dan menginap di rumah Ali. Paginya,
Abu Dzar membawa tempat air dan makanannya dan kembali datang ke
Masjid tanpa keduanya saling bertanya tentang sesuatu.
Kemudian Abu Dzar menghabiskan hari yang ke dua di Masjid dan ia
belum juga mengetahui kabar tentang Nabi Shallallahu 'alaih wasallam. Begitu petang menjelang,
ia sudah hendak berbaring di dalam Masjid. Lalu datanglah Ali ra dan
berkata kepadanya: “Apakah orang ini tidak tahu rumahnya?!” Kemudian
Abu Dzar pergi ke rumah Ali dan menginap di sana pada malam yang
kedua. Dan keduanya tidak saling bertanya tentang apapun juga.
Pada malam ketiga Ali berkata kepada Abu Dzar: “Apakah engkau tidak
mau bercerita kepadaku mengapa engkau datang ke Mekkah?” Abu Dzar
menjawab: “Jika kau berjanji akan menunjukkan apa yang aku cari, maka
aku akan mengatakannya.” Maka Ali berjanji untuk melakukannya.
Abu Dzar lalu berkata: “Aku datang ke Mekkah dari tenpat yang jauh
untuk berjumpa dengan seorang Nabi baru dan untuk mendengarkan
sesuatu yang ia ucapkan.” 

Maka merebaklah kebahagiaan Ali ra lalu ia berkata: “Demi Allah,
dialah Rasulullah, Dialah... Dialah... Besok pagi ikutilah aku kemana aku
pergi. Jika aku melihat sesuatu yang mengkhawatirkan aku akan berhenti
seolah sedang menuangkan air. Jika  aku berjalan lagi maka ikutilah aku
sehingga kau masuk ke sebuah pintu bersamaku!”
Malam itu Abu Dzar tidak bisa tidur nyenyak karena rindu sekali ingin
berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaih wasallam, dan ingin sekali mendengarkan wahyu yang
diturunkan kepadanya.
Keesokan paginya, Ali berangkat bersama tamunya menuju rumah
Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam. Abu Dzar mengikuti jejaknya dan ia tidak menoleh ke arah
manapun hingga keduanya masuk ke rumah Nabi Shallallahu 'alaih wasallam. Lalu Abu Dzar
berkata: “Assalamu alaika, ya Rasulullah!” Rasul menjawab: “Wa alaika
Salamullah wa rahmatuhu wa barakatuhu!”
Abu Dzar menjadi orang pertama  yang memberikan salam kepada
Rasul Shallallahu 'alaih wasallam dengan tahiyat Islam. Lalu setelah itu ucapan salam menjadi
akrab dipakai orang.

Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam mengajak Abu Dzar untuk masuk Islam dan
membacakan kepadanya Al Qur’an. Begitu ia mengucapkan kalimatul haq
dan masuk ke dalam agama yang baru, maka ia menjadi orang ke empat
atau ke lima yang masuk ke dalam Islam.
Sekarang, kita persilahkan Abu Dzar untuk menceritakan kisah
selanjutnya sendiri:
Setelah itu aku tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam di Mekkah dan Beliau
mengajarkan Islam kepadaku. Beliau juga mengajarkan aku beberapa ayat
Al Qur’an. Beliau bersabda kepadaku: “Jangan kau beritahu siapapun
tentang keislamanmu di Mekkah. Aku khawatir mereka akan
membunuhmu!” Aku menjawab: “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam
kekuasaan-Nya. Aku tidak akan meninggalkan Mekkah sehingga aku
datang ke Masjid dan aku akan meneriakkan dakwah kebenaran di
hadapan suku Quraisy!” Rasul pun diam.
Aku datang ke Masjid dan suku Quraisy sedang duduk berbincang-
bincang di sana. Aku lalu masuk ke tengah-tengah mereka. Aku berteriak
dengan sekeras-kerasnya: “Wahai bangsa Quraisy, aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”
Begitu ucapanku hinggap di telinga mereka, maka mereka semua
bangun dari tempat duduknya. Mereka berkata: “Tangkaplah orang yang
keluar dari agamanya ini!” Mereka pun menangkapku dan memukulku
hingga aku hampir mati. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib paman Nabi Shallallahu 'alaih wasallam
menarikku, ia berusaha melindungiku dari pukulan suku Quraisy. 

Kemudian ia berkata kepada mereka: “Celaka kalian!! Apakah kalian
hendak membunuh seorang yang berasal dari Ghifar tempat berlalunya
kafilah kalian?! Biarkan ia bersamaku!!”
Begitu aku siuman aku datang menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam. Saat Beliau
melihat apa yang aku alami, Beliau bersabda: “Bukankah aku telah
melarangmu agar tidak mengumumkan keislamanmu?!” Aku menjawab:
“Ya Rasulullah, itu merupakan keinginan hatiku dan aku telah
memenuhinya.”
Beliau bersabda: “Kembalilah ke kaummu dan beritahukan kepada
mereka apa yang telah kau lihat dan kau dengar. Ajaklah mereka kembali
kepada Allah. Semoga Allah Subhanu wata'ala memberi manfaat buat mereka lewatmu
dan memberimu balasan karena jasa baik yang kau lakukan kepada
mereka. Jika kau mendengar bahwa aku sudah berdakwah secara terang-
terangan, maka datanglah kepadaku!”
Abu Dzar meneruskan kisahnya:
Aku pun berangkat hingga tiba di perkampungan kaumku. Lalu
saudaraku Anis menanyakan: “Apa yang telah kau lakukan?” Aku
menjawab: “Aku telah masuk Islam, dan aku telah meyakininya.”
Tidak lama berselang, Allah pun melapangkan dadanya untuk
menerima Islam. Ia berujar: “Aku tidak membenci agamamu. Aku kini
masuk Islam dan meyakininya juga.”
Lalu kami berdua mendatangi ibu kami, kami mengajaknya untuk
masuk Islam. Ia menjawab: “Aku tidak membenci agama kalian berdua.”
Dan ia pun masuk Islam.
Sejak hari itu, keluarga ini telah masuk Islam dan berdakwah di jalan
Allah pada daerah Ghifar. Mereka tidak pernah merasa bosan dan putus
asa. Hingga banyak sekali dari penduduk Ghifar yang masuk Islam dan
mendirikan shalat.
Sebagian dari penduduk Ghifar mengatakan: “Kami akan terus
menjalankan agama kami hingga Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam hijrah ke Madinah maka
kami akan masuk Islam.” Begitu Rasul pindah ke Madinah, mereka pun
masuk Islam. Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam bersabda: “Ghifar, Allah memberikan
maghfirahnya kepada mereka. Ghifar  telah masuk Islam dan Allah akan
membuatnya senantiasa selamat.”
Abu Dzar tinggal di kampungnya sehingga peristiwa Badr, Uhud dan
Khandaq terlewatkan olehnya. Kemudian ia datang ke Madinah dan ia
mengkhususkan dirinya untuk berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam mengizinkannya dan ia begitu gembira dapat mendampingi
dan melayani Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam senantiasa memberikan penghormatan dan memuliakan
Abu Dzar. Beliau tidak pernah berjumpa dengannya kecuali Beliau  menjabat tangannya. Beliau juga senantiasa menampakan wajah ceria dihadapan Abu Dzar.

Saat Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam kembali kepangkuan Tuhannya,Abu Dzar tidak
sanggup lagi tinggal di Madinah Al Munawarah setelah ditinggalkan
pemimpinnya dan kehilangan petunjuknya. Ia pun pergi ke sebuah desa di
Syam dan tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq dan Umar Al Faruq ra.

Pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Dzar yang tinggal di Damaskus
mendapati kaum muslimin sudah begitu mencintai dunia dan hidup
bermewah-mewahan. Hal ini membuat ia keheranan dan menolaknya.
Utsman pun memintanya untuk datang ke Madinah dan ia pun datang.
Akan tetapi ia merasa sumpek dengan manusia yang begitu cinta dunia,
dan manusia pun menjadi benci kepadanya karena ia begitu saklek kepada
mereka. Maka Utsman memerintahkannya untuk pindah ke Al Rabdzah,
yaitu sebuah desa kecil yang ada di Madinah. Ia lalu berangkat ke sana dan
tinggal di sana di sebuah tempat yang jauh dari keramaian manusia. Ia
berzuhud dari hal yang manusia miliki, senantiasa dengan apa yang
dijalankan Rasul dan kedua sahabatnya yang lebih mendahulukan akhirat
daripada dunia.
Suatu hari ada seseorang yang datang ke rumah Abu Dzar dan melihat
ke sekeliling rumahnya, akan tetapi ia tidak menemukan barang apapun.
Orang itu bertanya: “Wahai Abu Dzar, mana perabotanmu?!
Ia menjawab: “Kami memiliki rumah di sana (maksudnya akhirat).
Kami mengirimkan perabotan kami yang baik ke sana.
Orang itupun mengerti maksud Abu Dzar dan berkata: “Akan tetapi
engkau harus memiliki perabotan selagi engkau berada di sini (maksudnya
dunia).” Ia menjawab: “Akan tetapi pemilik rumah ini tidak akan
membiarkan kami tinggal di sini.”

Amir (pemimpin Syam) mengirimkan 300 dinar kepada Abu Dzar dan
berkata kepadanya: “Gunakanlah uang ini untuk mencukupi
kebutuhanmu!” Abu Dzar menolaknya sambil berkata: “Apakah Amir
negeri Syam Abdullah tidak menemukan orang yang lebih miskin dariku?”

Pada tahun 32 Hijriyah ajal datang menjemput sang hamba yang taat
beribadah dan hidup zuhud, yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaih wasallam sebagai:
“Bumi tidak pernah mengandung dan langit tidak pernah menaungi orang
yang lebih jujur dari Abu Dzar.”


Sumber  : Kisah Heroik 65 Orang Sahabat Rosulullah

No comments:

Post a Comment

Silakan Tuliskan Komentar Anda Tentang Blog Ini dan Juga Tentang Postingannya, Komentar dan Masukkan Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan Blog Ini

Beri Tahu Kami Jika Ada Link Download Yang Tidak Bekerja atau Tidak Bisa Dibuka
TERIMA KASIH...!!!