اَلسَّلَامُ عَلَيْكُم بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
LCD Text Generator at TextSpace.net
LCD Text Generator at TextSpace.net
small rss seocips Murottal Qur'an
Sambil dengerin ngaji yuukk, baca postingannya, klik tombol play nya !!!

Thursday, March 24, 2016

Zaid Al Khair

“Alangkah Banyaknya Kebaikanmu, Ya Zaid. Manusia Seperti Apa
Engkau Ini?”  (Muhammad Rasulullah)
Manusia bagai barang tambang; Mereka yang terbaik pada masa

jahiliah adalah mereka yang terbaik pada masa Islam.
Inilah 2 kisah seorang sahabat Rasul yang terkenal. Kisah pertama
adalah saat ia masih berada pada masa jahiliah, dan satunya lagi saat ia
sudah mengecap indahnya Islam.
Sahabat Rasul ini bernama Zaid Al Khair
sebagaimana Rasul memanggilnya setelah ia masuk Islam.
Kisah ia saat Jahiliah dituliskan dalam beberapa buku sastra:
Al Syaibani mengisahkan dari seorang syeikh dari Bani ‘Amir yang
berkata: Kami pernah mengalami satu tahun kemarau yang telah membuat
tanaman tidak tumbuh dan hewan tidak dapat mengeluarkan susu. Maka
ada seorang di antara kami yang membawa keluarganya ke Al Hirah dan
meninggalkan mereka di sana. Ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah
aku di sini, hingga aku kembali lagi!”
Kemudian ia bersumpah kepada mereka bahwa ia tidak akan kembali
menemui mereka lagi kecuali bila ia sudah mendapatkan uang atau ia mati.
Kemudian ia mempersiapkan bekal dan berangkat seharian penuh.
Begitu malam tiba ia mendapati di hadapannya ada sebuah tenda dan dekat
tenda tersebut ada seekor kuda yang sedang terikat. Maka ia langsung
berujar: “Inilah ghanimah pertama!” dan ia berjalan ke arah kuda tersebut
dan melepaskan ikatannya. Begitu ia ingin menungganginya ia mendengar
sebuah suara yang memanggilnya: “Tinggalkan kuda itu, dan carilah harta
lain untuk di ambil!” Maka ia pun meninggalkan kuda tadi dan
melanjutkan perjalanannya. 
Kemudian ia berjalan lagi selama 7 hari hingga ia sampai pada sebuah
tempat penggembalaan unta. Di sebelah padang tadi terdapat sebuah tenda
besar yang padanya ada sebuah kubah yang terbuat dari kulit menandakan
kekayaan dan kenikmatan. Maka orang ini berujar dalam hati: “Padang ini
pasti ada untanya, dan pasti tenda ini ada pemiliknya.”
Kemudian ia melihat ke dalam tenda –dan saat itu matahari sudah
hampir tenggelam- ia melihat ada seorang berusia tua berada di dalam
tenda. Maka ia duduk di belakang orang tua itu dan si orang tua tidak
merasakan kehadirannya.
Tidak lama kemudian maka tenggelamlah matahari. Lalu datanglah
seorang penunggang kuda yang belum pernah terlihat ada penunggang
kuda yang lebih besar darinya yang mengenakan sadel begitu tinggi. Di
sekelilingnya terdapat duaorang budak yang berjalan di sebelah kanan dan
kirinya. Ia membawa kira-kira 100 unta bersamanya. Pada barisan
terdepan ada unta pejantan yang begitu besar. Lalu berhentilah unta
pejantan tadi dan berhenti juga unta-unta yang lain di sekelilingnya.
Sejurus kemudian, penunggang kuda tadi berkata kepada salah seorang
budaknya:
“Peraslah susu unta ini –ia menunjuk ke arah seekor unta betina yang
gemuk- dan berilah susu tersebut kepada orang tua itu!” Maka budak tadi
memeras susu unta sehingga sampai satu bejana penuh. Lalu ia meletakkan
susu tersebut di hadapan orang tua tadi lalu mundur ke belakang untuk
pamit. Lalu orang tua tadi meminumnya seteguk atau dua teguk, lalu
menaruh kembali susu tadi… Maka orang yang menyelinap tadi berkata: 
“Lalu aku mengendap ke arahnya dan aku mengambil bejana susu. Aku
meminum semua susu yang tersisa.” Lalu budak tadi datang lagi dan
mengambil bejana susu. Ia langsung berteriak: “Tuanku, orang tua ini telah
meminum susu yang diberikan!” Langsung saja penunggang kuda tadi
bergembira dan berkata: “Peraslah susu unta ini –ia menunjuk seekor unta
lainnya- dan taruhlah bejana susu di depan orang tua!” Maka budak
itupun melaksanakan apa yang diperintahkan. Lalu orang tua tadi
meminumnya satu atau dua teguk lalu menaruh kembali bejananya.
Akupun mengambilnya lagi dan aku meminum separuhnya. Aku tidak mau
meminum semua susu karena khawatir akan membuat curiga si
penunggang kuda.
Kemudian si penunggang kuda memerintahkan budaknya yang kedua
untuk menyembelih seekor domba. Lalu budak tadi menyembelihnya. Lalu
si penunggang kuda memanggang daging domba tadi dan memberikannya
kepada orang tua sehingga ia merasa kenyang. Lalu si penunggang kuda
memakan sisa kambing tadi bersama kedua budaknya.
Tidak lama kemudian maka semuanya  tertidur dengan begitu lelapnya
dengan suara mendengkur.
Pada saat itu aku menuju ke unta jantan tadi dan aku melepaskan
ikatannya lalu menungganginya. Unta pejantan itupun bangun dan diikuti
oleh semua unta yang lain. Aku berangkat malam itu juga. Begitu siang
mulai datang menjelang, aku melihat ke sekeliling penjuru dan aku tidak
melihat siapapun yang mengikutiku. Akupun meneruskan perjalanan
hingga hari semakin siang.
Kemudian aku menoleh dan aku melihat ada seekor burung elang atau
seekor burung yang besar. Ia selalu terbang dekatku hingga aku tersadar 

bahwa ada seorang penunggang kuda yang sedang duduk di atas kudanya.
Ia lalu datang ke arahku sehingga aku mengenalinya bahwa ia adalah
pemilik unta-unta ini yang mencari unta miliknya.
Saat itu, aku mengikatkan unta pejantan tadi, dan aku mengeluarkan
anak panah dari sarungnya dan aku letakkan pada busurnya. Aku berdiri
di depan unta-unta tadi. Lalu si penunggang kuda berhenti dengan jarak
sedikit jauh dariku. Ia berkata: “Lepaskan ikatan unta jantanku!” Aku
menjawab: “Tidak! Aku telah meninggalkan banyak wanita yang sedang
kelaparan di Al Hirah. Aku berjanji kepada mereka bahwa aku tidak akan
kembali kepada mereka kecuali bila aku sudah membawa harta atau aku
mati.”
Ia menjawab: “Kalau demikian, kau akan mati. Lepaskan ikatan unta
itu. Sial kamu!” Aku menjawab: “Aku tidak akan melepaskannya!” Ia
berkata: “Celaka kamu. Engkau masih saja berkeras!” 
Lalu ia berkata: “Tunjukkan kepadaku tali kendali unta –dan pada tali
kendali tersebut terdapat tiga ikatan- kemudian ia bertanya kepadaku pada
ikatan yang mana aku menginginkan ia mengarahkan anak panahnya.
Kemudian aku menunjuk ke arah ikatan yang ada di tengah. Kemudian ia
melepaskan anak panahnya, dan ia berhasil memasukkannya ke dalam
ikatan tadi seolah ia menaruhnya dengan tangan. Kemudian ia melepaskan
anak panahnya ke arah ikatan kedua dan ketiga.
Begitu melihat hal ini, aku menaruh kembali anak panahku ke
tempatnya dan aku berdiri seraya menyerah. Lalu ia menghampiriku dan
mengambil pedang serta busur panahku. Ia berkata: “Naiklah
dibelakangku!” Aku pun ikut naik di belakangnya. Ia bertanya:
“Menurutmu apa yang akan aku lakukan kepadamu?”
Aku menjawab: “Aku menduga hal yang paling buruk bakal terjadi
padaku.”
Ia bertanya: “Mengapa demikian?”
Aku menjawab: “Karena apa yang telah aku lakukan padamu, dan
karena aku telah menyusahkanmu dan Allah telah membuatmu dapat
menangkapku.”
Ia berkata: “Apakah engkau mengira bahwa aku akan menyiksamu
padahal engkau telah minum dan makan bersama bapakku, dan engkau
telah membuatnya bersedih pada malam itu?!!”
Begitu aku mendengar nama bapaknya maka aku langsung bertanya:
“Apakah engkau adalah Zaid Al Khail?” Ia menjawab: “Benar!” Aku
berkata kepadanya: “Kalau demikian, jadilah engkau sebaik-baiknya orang
yang menawan!” Ia menjawab: “Tidak masalah.” Iapun membawa aku ke
tempatnya. Ia berkata kepadaku: “Demi Allah, kalau saja unta-unta ini
adalah milikku pasti aku berikan ini semua kepadamu. Akan tetapi unta-
unta ini milik saudariku. Tinggalah bersama kami selama beberapa hari!
Sebab aku sebentar lagi akan ikut perang dan bisa jadi aku pulang dengan
membawa ghanimah.” 

Hanya tiga hari setelah itu, ia pergi berperang melawan Bani Numair.
Dan ia mendapatkan ghanimah hampir mencapai 100 unta dan ia
memberikannya kepadaku. Ia pun mengutus beberapa orang untuk
melindungiku hingga tiba di Al Hirah.

Itulah cerita Zaid al Khail saat ia masih dalam masa jahiliah. Sedangkan
kisahnya saat ia masuk Islam tercantum dalam kitab-kitab sirah sebagai
berikut: 
Begitu telinga Zaid Al Khail mendengar kisah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, ia langsung
menyiapkan kendaraannya. Ia juga  mengajak beberapa orang pembesar
kaumnya untuk datang ke Yatsrib43
 dan menjumpai Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
berangkatlah ia bersama dengan rombongan yang banyak yang terdiri dari
Zur bin Sadus, Malik bin Jubair, Amir bin Juwain dan lainnya. Begitu
mereka sampai di Madinah, mereka menuju ke Masjid Nabawi dan
memberhentikan unta mereka di depan pintu masjid.
Saat mereka masuk, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah di hadapan
kaum muslimin dari atas mimbar.  Pembicaraan Rasul saat itu memukau
mereka. Dan mereka merasa takjub dengan sikap kaum muslimin yang
begitu patuh dengan Beliau. Mereka begitu mendengarkan, dan menyerap
apa yang Beliau sabdakan.
Saat Rasulullah Saw melihat keberadaan mereka, maka Rasul bersabda
sambil berkhutbah kepada kaum muslimin: “Aku lebih baik bagi kalian
daripada Uzza dan dari setiap hal yang kalian sembah… Aku lebih baik
bagi kalian dari pada unta hitam yang pernah kalian sembah selain Allah
Subhanu wata'ala!”

Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah meresap ke dalam diri Zaid al Khail dan
rombongannya; ada sebagian dari mereka yang menerima kebenaran ini
dan ada sebagian lagi yang berpaling dari kebenaran dengan amat
sombongnya.
Sebagian berada di surga dan sebagian lagi di neraka.
Sedangkan Zur bin Saduds begitu ia hampir saja melihat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang berada dalam posisinya yang amat bagus dan menyentuh
setiap hati yang beriman dan terlihat oleh mata yang jatuh cinta. Hampir
saja ia berimah hingga kedengkian merasuki hatinya dan rasa takut
memenuhi sanubarinya. Ia lalu berkata kepada orang-orang yang ada di
sekelilingnya: “Aku kini melihat seorang manusia yang akan menundukkan
leher semua bangsa Arab. Demi Allah, aku tidak akan pernah membiarkan
dia menundukkan leherku!” Lalu ia berangkat ke negeri Syam, mencukur
rambutnya dan masuk ke dalam agama Nashrani.
Sedangkan Zaid dan manusia yang tersisa lain lagi ceritanya. Begitu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengakhiri khutbahnya, ia langsung berdiri di antara
kumpulan muslimin –dia adalah orang yang paling tampan, berakhlak baik
dan paling tinggi-sehingga meski ia berada di atas kuda maka kakinya akan
menyentuh tanah seolah ia hanya mengendari seekor keledai saja.
Ia berdiri dengan postur yang tegap dan berbicara dengan suara
lantang: “Ya Muhammad, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa engkau adalah utusan Allah!” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam membalas dengan
pertanyaan: “Siapakah engkau?” Ia menjawab: “Saya adalah Zaid Al Khail
bin Muhalhil.” Rasul langsung bersabda: “Engkau adalah Zaid al Khair
bukan Zaid al Khail. Segala puji bagi Allah Yang telah membawamu dari
perjalanan yang menyusuri pantai dan pegunungan, dan Yang telah
membuat hatimu luluh menerima Islam.”
Sejak itu, ia dikenal dengan sebutan Zaid Al Khair.
Kemudian ia mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ke rumah Beliau disertai
dengan Umar bin Khattab dan beberapa orang sahabat lainnya. Begitu
sampai di rumah Beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membentangkan bangku sandaran
buat Zaid. Zaid merasa segan dan menolak bangku sandaran tersebut.
Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam terus saja mempersilahkannya dan Zaid masih saja menolak
sebanyak tiga kali.
Setelah lama majlis tersebut berlangsung, Rasulullah bersabda kepada
Zaid Al Khair: “Ya Zaid, Tidak ada orang yang diceritakan kepadaku
kemudian aku melihatnya kecuali ia tidak sesuai dengan apa yang
diceritakan kepadaku kecuali kamu.” Lalu Rasul bertanya kepada Zaid:
“Bagaimana engkau bisa demikian, Ya Zaid?” Zaid menjawab: “Aku selalu
mencintai kebaikan dan orang yang melaksanakannya. Jika aku mengerti
akan kebaikan maka aku akan meyakini pahalanya. Jika aku tidak sempat
melakukan kebaikan itu, maka aku akan merindukannya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
lalu bersabda: “Inilah tanda Allah bagi siapa saja yang Ia inginkan.” Zaid
lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku sesuai
dengan kehendak-Nya dan kehendak Rasul-Nya.”
Ia lalu menoleh ke arah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata: “Kirimkan kepadaku
wahai Rasulullah 300 orang penunggang kuda. Aku jamin bahwa aku akan
menyerang negeri Romawi bersama mereka dan aku akan mengalahkannya.”
Maka Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam lalu membesarkan semangatnya ini dengan sabdanya:
“Betapa banyak kebaikanmu, ya Zaid. Manusia seperti apa kau ini?”
Kemudian semua orang yang menemani Zaid dari kaumnya
menyatakan diri masuk Islam.
Saat Zaid hendak kembali bersama rombongannya menuju kampung
mereka di Najd, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melepas mereka dengan bersabda: 

“Manusia seperti apa ini?! Betapa ia amat penting kalau saja ia selamat dari
wabah di Madinah!!”
Madinah Al Munawarah pada saat itu sedang mendapat wabah demam.
Begitu Zaid Al Khair meninggalkan Madinah maka ia terserang demam. Ia
pun berkata kepada rombongannya: “Jauhkan aku dari negeri Qais, karena
di antara kami ada dendam sejak masa jahiliah. Demi Allah aku tidak akan
berperang melawan seorang muslim sehingga aku berjumpa dengan Allah
Subhanu wata'ala.

Zaid Al Khair meneruskan perjalanannya menuju kampungnya di Najd
meski serangan demam terus menggila pada dirinya dari waktu ke waktu;
Ia berharap ia dapat berjumpa lagi dengan kaumnya dan agar Allah
menetapkan keislaman pada mereka lewat dakwahnya.
Tinggi cita-cita mulia yang hendak ia capai, namun belum juga ia dapat
mewujudkannya, ia sudah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya yang
terakhir di tengah perjalanan. Sejak ia masuk Islam hingga ia wafat tidak
ada kesempatan yang ia pergunakan hingga terjerumus dalam perbuatan
dosa


Sumber : Kisah Heroik 65 Orang Sahabat Rosulullah 

No comments:

Post a Comment

Silakan Tuliskan Komentar Anda Tentang Blog Ini dan Juga Tentang Postingannya, Komentar dan Masukkan Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan Blog Ini

Beri Tahu Kami Jika Ada Link Download Yang Tidak Bekerja atau Tidak Bisa Dibuka
TERIMA KASIH...!!!