(Muhammad Rasulullah)
Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal
Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan
biografinya?!
Akan tetapi yang sering tidak diketahui oleh kita adalah bahwa Shuhaib
bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia adalah orang Arab asli. Ayahnya
berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim.
Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada
sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh
legenda.
Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi
gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia
menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia.
Anak yang paling dicintai oleh Sinan adalah seorang anak yang belum
genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib.
Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu
aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan
kecerdasan dan kepintaran. Ia juga merupakan bocah yang periang,
memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa
senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya.
Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan
rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah
kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan
berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung
tersebut, membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan
penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan adalah Shuhaib.
68
Al Ubullah adalah sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah.
Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia
mengalami pergantian tuan, karena selalu berpindah dari tuan yang satu
kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru
lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi.
Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi
lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat
penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan
telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia
pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina.
Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan
kembali kecuali dengan angin topan.
Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di
antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir
melupakannya, akan tetapi tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia
adalah seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang
pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia
langsung menuju tanah asalnya.
Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang
pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat
datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab
seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”
Kemudian Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan
tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat
diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti.
Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama
Shuhaib si Romawi karena bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya
yang berwarna merah.
Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah
yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang
pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya.
Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya
namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia
teringat akan ucapan pendeta tersebut, ia akan bertanya pada dirinya:
“Kapankah hal ini terjadi?”
Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya.
Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu
perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad
bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada
manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat
adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar.
Shuhaib bertanya: “Bukankah dia adalah orang yang dikenal oleh
penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” Kemudian
orang tersebut menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana
tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al
Arqam69 dekat bukit Shafa.Akan tetapi waspadalah jangan sampai ada
orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan
menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau adalah orang
asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu.
Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati.
Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia
sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak kemudian ia
menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya
Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak
engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini
untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun
hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari
kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!”
Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai
Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya
keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk
menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Keduanya
bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka
bersama Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau
sepanjang hari.
69
Dia adalah putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang
memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) adalah pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia
untuk mengurus harta sedekah.
Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar
meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah
membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh
dunia.
Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku
Quraisy. Bersamanya adalah Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-
lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka
merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung,
pasti gunung tersebut akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua
penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari
bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan.
Begitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah
ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
Abu Bakar. Akan tetapi Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk
berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya.
Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai
Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah
ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak.
Setelah Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-
nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka akan tetapi ia tidak
berhasil. Itu dikarenakan, karena mata para pengintai selalu mengawasi
gerak-geriknya. Karenanya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan
sebuah tipuan.
Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil
seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya,
maka ia kembali lagi ke kamar kecil.
Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata
dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” Kemudian mereka mulai
merebahkan diri, dan tak lama kemudian mereka tertidur.
Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju
ke Madinah.
Tidak lama setelah Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri.
Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya guna menyusul Shuhaib.
Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di
sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung.
Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi
Allah, kalian telah tahu bahwa aku adalah orang yang paling hebat dalam
memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak
akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki
dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan
pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!”
Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan
membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu
datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau adalah seorang
miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi
seperti saat ini.”
Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan
hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab:
“Ya!”
Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam
rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan
mengambil harta Shuhaib. Kemudian mereka membiarkan Shuhaib
berangkat.
Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama
Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia
telah mengumpulkannya sepanjang umur.
Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membuatnya kembali semangat dan meneruskan
perjalanannya.
Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Shuhaib yang datang.
Maka Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata:
“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam
mengulanginya sampai tiga kali.
Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang kemudian
berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini,
ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku
selain Jibril.”
70
Quba adalah sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah
Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu.
Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Subhanu wata'ala menurunkan ayat tentang
Shuhaib yang berbunyi:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207)
Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan
tempat kembali yang amat baik.
Sumber : Kisah Heroi 65 Orang Sahabat Rosulullah
No comments:
Post a Comment
Silakan Tuliskan Komentar Anda Tentang Blog Ini dan Juga Tentang Postingannya, Komentar dan Masukkan Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan Blog Ini
Beri Tahu Kami Jika Ada Link Download Yang Tidak Bekerja atau Tidak Bisa Dibuka
TERIMA KASIH...!!!