اَلسَّلَامُ عَلَيْكُم بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
LCD Text Generator at TextSpace.net
LCD Text Generator at TextSpace.net
small rss seocips Murottal Qur'an
Sambil dengerin ngaji yuukk, baca postingannya, klik tombol play nya !!!

Saturday, March 19, 2016

Said Bin ‘Amir Al Jumahi

“Said bin ‘Amir Adalah Seorang yang Sanggup Membeli Akhirat
dengan Dunia. Ia Adalah Orang yang Mendahulukan Allah Dan
Rasul-Nya Daripada Siapapun.” (Ahli Sejarah)


Seorang pemuda bernama Said bin ‘Amir Al Jumahi adalah salah satu
dari ribuan orang muallaf yang datang dari daerah  Tan’im daerah luar
Mekkah demi memenuhi undangan para pemuka Quraisy untuk
menyaksikan pembunuhan Khubaib bin ‘Ady salah seorang sahabat
Muhammad setelah mereka berhasil menangkap Khubaib dengan cara
menipunya.
Jiwa muda dan kekuatan yang  dimilikinya membuat Said mampu
menerobos kumpulan manusia saat itu, sehingga ia dapat berdiri sejajar
dengan para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyanbin Harb, Shafwan bin
Umayyah dan lainnya yang menyaksikan pemandangan saat itu.
Kesempatan itu membuat Said dapat melihat para tawanan suku
Quraisy yang sedang terikat. Tangan para wanita, anak-anak dan pemuda
mendorong tubuh Said masuk ke arena pembunuhan, di tempat para suku
Quraisy melakukan balas dendam kepada Muhammad lewat diri Khubaib,
dan sebagai balas dari para anggota suku Quraisy yang mati dalam perang
Badar.
Saat kerumunan yang sesak itu sampai ke tempat pembunuhan dengan
membawa tawanan. Berdirilah pemuda yang bernama Said bin ‘Amir Al
Jumahy dengan tegaknya dihadapan Khubaib. Ia menyaksikan Khubaib
berjalan ke arah kayu yang telah  dipancangkan. Said mendengar suara
Khubaib yang tenang diantara jeritan dan teriakan para wanita dan anak-
anak. Khubaib berkata: “Dapatkah kalian mengizinkan aku untuk
melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu...?” Said lalu memperhatikan
Khubaib saat ia menghadap kiblat dan melakukan shalat dua rakaat. Betapa
bagus dan sempurna dua rakaat shalat yang dikerjakannya...
Said juga memperhatikan saat Khubaib menghadap para pemuka
Quraisy seraya berkata: “Demi Allah, kalau kalian tidak menduga bahwa
aku akan memperpanjang shalat karena merasa takut mati, pasti aku akan
memperbanyak bilangan shalat tadi.”
Said menyaksikan kaumnya dengan kedua mata kepalanya saat mereka
memotong bagian tubuh Khubaib yang masih hidup. Mereka memotong

setiap bagian tubuh Khubaib sambil berkata kepadanya: “Apakah kau ingin
Muhammad menggantikan posisimu ini dan engkau akan selamat
karenanya?”
Ia menjawab –padahal darah mengalir di sekujur tubuhnya-: “Demi
Allah, aku lebih suka menjadi pengaman dan meninggalkan istri dan
anakku, daripada Muhammad di tusuk dengan duri.”
Maka semua manusia yang hadir saat itu mengacungkan tangan
mereka ke langit, seraya berteriak sengit: “Bunuh dia... bunuh dia!”
Lalu Said bin ‘Amir menyaksikan dengan mata kepalanya senidir bahwa
Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang kayu seraya
berdo’a: 
“Allahumma ahshihim adadan waqtulhum badadan wa la tughadir
minhum ahadan (Ya Allah, hitunglah satu demi satu mereka semua.
Bunuhlah mereka secara kejam. Janganlah kau sisakan satu
orangpun dari mereka.”
Khubaibpun meniupkan nafasnya yang terakhir. Pada tubuhnya banyak
sekali bekas luka pedang dan tombak yang tidak bisa dihitung manusia.
Suku Quraisy pun telah kembali ke Mekkah, dan mereka semua sudah
lupa akan bangkai tubuh dan proses pembunuhan Khubaib.
Akan tetapi dalam diri seorang pemuda yang hampir baligh bernama
Said bin ‘Amir Al Jumahy tidak pernah hilang bayangan Khubaib sesaatpun.
Said sering kali melihat Khubaib di  kala tidur. Saat  terjagapun, Said
sering melihatnya dengan ilusi. Tergambar di benak Said saat Khubaib
melakukan shalat dua rakaat yang begitu tenang dan nikmat didepan kayu
yang terpancang. Said mendengar getaran suara Khubaib di telinganya saat
Khubaib berdo’a untuk kehancuran suku Quraisy. Said menjadi khawatir
terkena petir dibuatnya, atau takut terkena hujan batu yang jatuh dari
langit karenanya.
Lalu Khubaib seperti telah mengajarkan Said apa yang belum diketahui
sebelumnya....
Khubaib mengajarkannya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah
akidah dan jihad di jalan akidah hingga mati.
Khubaib mengajarkannya bahwa iman yang mantap akan
menimbulkan banyak keajaiban dan mukjizat.
Khubaib juga mengajarkannya hal lain, yaitu bahwa pria yang dicintai
oleh para sahabatnya dengan cinta seperti ini tiada lain adalah seorang
Nabi yang didukung oleh langit.
Pada saat itu pula, Allah Subhanu wata'ala melapangkan dada Said bin Amir untuk
memeluk Islam. Maka ia berjalan menghampiri kerumunan manusia dan 
mengumumkan keterlepasan dirinya dari perbuatan dosa yang telah
dilakukan suku Quraisy, dan ia berikrar akan meninggalkan segala berhala
yang pernah disembanya dan ia mengumumkan bahwa ia telah masuk
Islam.

Said turut ikut berhijrah ke Madinah, dan ia senantiasa mendampingi
Rasulullah Saw. Ia pun turut dalam perang Khaibar dan perang-perang lain
setelah itu.
Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kembali keharibaan Tuhannya, Said menjadi pedang
terhunus bagi Khalifah pengganti Rasul yaitu Abu Bakar dan Umar, dan ia
menjadi satu-satunya contoh bagi orang yang beriman yang berniat
membeli kehidupan akhirat dengan dunianya. Ia rela mendahulukan Allah
dan pahala yang akan diberikan daripada semua keinginan nafsu syahwat
badan.
Kedua khalifah Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui dengan baik kebenaran dan
ketaqwaan yang dimiliki oleh Said. Mereka berdua sering mendengarkan
dengan serius setiap nasehat dan ucapan Said.
Said mendatangi Umar saat Umar baru menjadi khalifah. Said berkata
kepadanya: “Ya Umar, Aku berwasiat kepadamu agar engkau takut kepada
Allah dalam urusan manusia. dan janganlah engkau takut kepada manusia
dalam urusan Allah. Ucapanmu jangan pernah menyalahi perbuatanmu,
sebab ucapan yang terbaik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan....
Ya Umar, perhatikanlah dengan baik orang yang telah Allah
percayakan kepadamu urusannya dari kaum muslimin baik mereka yang
jauh ataupun yang dekat. Cintailah mereka sebagaimana engkau
menyayangi dirimu dan keluargamu. Buatlah mereka membenci apa yang
engkau dan keluargamu benci. Goncanglah kumpulan manusia untuk
menuju kebaikan, dan janganlah engkau khawatir terhadap kecaman
orang selagi di jalan Allah.”
Umar pun bertanya: “ Siapa yang mampu melakukan itu, wahai Said?”
Said menjawab: “Yang mampu melakukan itu adalah orang sepertimu yang
telah diberikan Allah kepercayaan untuk mengurusi permasalahan ummat
Muhammad. Tidak ada lagi jarak antara orang seperti dengan Allah.
Sejurus kemudian Umar mengajak  Said untuk menjadi salah seorang
pembantunya seraya berkata: “Ya Said, Kami mengangkatmu menjadi wali
(gubernur) daerah  Himsh.”  Said menjawab: “Ya Umar, Demi Allah
janganlah engkau menimpakan fitnah (ujian) padaku.” Umar pun menjadi
berang seraya berkata: “Celaka kalian... kalian meletakkan kepemimpinan
ini di leherku, kemudian kalian mau lepas tangan dariku!! Demi Allah, aku
tidak akan membiarkanmu.” Kemudian Umar mengangkat Said menjadi
wali di daerah Himsh seraya bertanya: “Bolehkah kami menentukan gaji 

buatmu?” Said menjawab: “Apa yang akan aku lakukan dengan gaji
tersebut wahai Amirul Mukminin?! Sebab gaji dari baitul maal melebihi
kebutuhanku.” Dan akhirnya Said pun berangkat ke Himsh.
Sedikit sekali uang yang dibawa oleh  Said bin ‘Amir hingga tiba saat
datangnya beberapa orang dari penduduk Himsh yang dipercaya oleh
Amirul Mukminin. Amirul Mukminin  berkata kepada mereka: “Tuliskan
nama-nama orang miskin kalian sehingga dapat aku cukupkan
kebutuhannya!” Mereka pun melaporkan data yang mereka miliki di
dalamnya terdapat nama fulan, fulan dan Said bin ‘Amir. Umar bertanya
kepada mereka: “Siapakah Said bin  ‘Amir ini?” Mereka menjawab: “Dia
adalah pemimpin kami.” Umar bertanya: “Pemimpin kalian termasuk
orang fakir?” Mereka menjawab: “Benar, Demi Allah lama waktu berjalan
namun di rumahnya tidak ada tungku api menyala.” Maka meledaklah
tangis Umar hingga air matanya membasahi janggut. Kemudian Beliau
mengumpulkan uang sebanyak 1000 dinar dan ditaruhnya dalam sebuah
ikatan seraya berkata: “Sampaikanlah salamku padanya dan katakan
padanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan uang ini untukmu agar
semua kebutuhanmu tercukupi.”

Datanglah utusan tadi kepada Said dengan barang bawaannya. Said
melihat bungkusan itu dan ternyata di dalamnya terdapat banyak uang
dinar. Ia menolaknya seraya berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun-
seolah ia terkena musibah- lalu datanglah istrinya tergopoh-gopoh sambil
bertanya: “Ada apa Said, apakah Amirul Mukminin telah wafat?” Said
menjawab: “Bahkan lebih dahsyat dari itu.” Istrinya bertanya lagi: “Apa
yang lebih dahsyat dari itu?” Ia menjawab: “Dunia sudah merasuki diriku
untuk merusak akhiratku. Dan kini fitnah sudah menyebar di rumahku.”
Istrinya berkata: “Kalau begitu, campakan saja hal itu –padahal istrinya
tidak tahu tentang uang dinar tadi-.” Said bertanya: “Maukah kamu
menolongku untuk melakukannya?” Istrinya menjawab: “Ya.” Maka Said
mengambil uang dinar tadi dan ia membaginya dalam beberapa bungkusan
kemudian ia bagikan kepada kaum muslimin yang fakir.
Tidak lama berselang, datanglah Umar ra ke beberapa daerah di Syam
untuk memeriksa kondisi penduduknya. Saat ia tiba di Himsh –dan daerah
ini disebut Al Kuwaifah sebagai panggilan kecil bagi kota Kufah, dan untuk
mempersamakan daerah Himsh dengan Kufah karena banyaknya
penduduk yang mengeluhkan kinerja  para pegawai dan wali di wilayah
mereka sebagaimana yang sering terjadi di Kufah- Saat Umar tiba di sana,
beberapa penduduk menghampiri Umar untuk memberikan sambutan
terhadapnya. Umar lalu bertanya kepada mereka: “Bagaimana pendapat 

kalian tentang Amir (pemimpin) di sini?” Mereka mengadukan keluhan
kepada Umar dan mereka menyebutkan 4 kekurangan Amir mereka, setiap
1 masalah lebih besar dari lainnya. Umar berkisah: Maka akupun
mengumpulkan Amir mereka yaitu Said bin Amir dengan orang-orang tadi.
Dan aku berdo’a kepada Allah agar dugaanku tidak dibuat salah; karena
aku menaruh kepercayaan besar kepada Said.
Saat mereka dan pemimpinnya sudah tiba menghadapku, aku bertanya:
“Apa yang kalian keluhkan dari amir kalian?” Mereka menjawab: “Ia tidak
keluar bekerja sehingga hari sudah amat siang.” Aku bertanya: “Apa
komentarmu dalam hal ini, ya Said?”  Ia terdiam sejenak lalu berkata:
“Demi Allah tadinya aku tidak mau mengatakan hal ini. Namun karena ini
harus disampaikan maka akupun akan menceritakannya. Aku tidak punya
pembantu di rumah. Setiap kali aku bangun di pagi hari, maka aku harus
menumbuk gandum buat keluargaku. Kemudian aku harus mengaduknya
dengan perlahan sehingga ia menjadi ragi. Lalu aku buatkan roti untuk
keluargaku. Kemudian aku berwudhu dan keluar untuk mengurusi
permasalahan manusia.”
Umar bertanya: “Lalu apa lagi yang kalian keluhkan terhadapnya?”
Mereka menjawab: “Ia tidak mau  melayani seorangpun pada waktu
malam.” Umar bertanya: “Apa komentarmu dalam hal ini, wahai Said?” Ia
menjawab: “Demi Allah, Sungguh aku  juga sungkan untuk menceritakan
hal ini… Aku telah membagi waktu siangku untuk berkhidmat dalam
urusan mereka, dan waktu malamku untuk Allah Subhanu wata'ala.”
Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka
menjawab: “Ada satu hari dalam sebulan dimana ia tidak keluar untuk
mengurusi kami.” Umar bertanya: “Apa maksudnya ini, wahai Said?” Ia
menjawab: “Aku tidak memiliki pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan
aku tidak memiliki baju kecuali yang sedang aku pakai ini. Aku
mencucinya sebulan sekali dan aku menunggunya hingga ia kering. Dan
pada penghujung hari, baru aku dapat keluar menemui mereka.”
Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka
menjawab: “Sering kali ia hilang kesadaran, sehingga ia tidak mengenali
orang yang berada di sekelilingnya.” Umar bertanya: “Apa maksudnya hal
ini, ya Said?!” Ia menjawab: “Aku menyaksikan pembunuhan Khubaib bin
‘Ady pada saat itu aku musyrik, dan aku melihat para penduduk Quraisy
memotong jasadnya dan mereka bertanya kepada Khubaib: ‘Apakah kau
ingin Muhammad menggantikanmu di sini?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah,
aku tidak suka merasa aman dengan istri dan anakku, padahal Muhammad
sedang dicucuk dengan duri….’ Dan aku selalu teringat akan hari itu dan
mengapa aku tidak menolongnya sehingga aku menduga bahwa Allah tidak
mengampuniku… maka akupun hilang kesadaran karenanya.
Saat itu Umar langsung berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
membuat dugaanku kepadanya tidak rusak.” Kemudian Umar
mengirimkan 1000 dinar untuknya agar dapat memenuhi segala
kebutuhannya. Begitu istri Said melihat uang tersebut, maka ia berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami lewat khidmat yang 

kau berikan. Belilah segala kebutuhan hidup kita. Dan carilah seseorang
yang mau diupah sebagai pembantu!”   Said berkata kepada istrinya:
“Apakah kau punya sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya bertanya:
“Apakah itu?” Said berujar: “Kita  kembalikan lagi kepada orang yang
membawanya, dan hal itu lebih kita butuhkan?” Istrinya bertanya lagi:
“Apakah itu?” Ia menjawab: “Kita pinjamkan uang tersebut kepada Allah
sebagai  qardhan hasanan (pinjaman yang baik).” Istrinya menanggapi:
“Benar. Dan engkau akan dibalas dengan kebaikan karenanya.”
Setelah ia meninggalkan majlis maka ia membagikan uang dinar
tersebut dalam beberapa bungkus dan ia berkata kepada salah seorang
anggota keluarganya: “Bawalah ini kepada janda fulan, yatim fulan, si
miskin fulan dan si fakir fulan.
Semoga Allah meridhoi Said bin ‘Amir Al Jumahy. Beliau adalah salah
seorang sosok yang mampu mendahulukan kepentingan orang lain, meski
ia berada dalam kondisi yang mendesak.

Sumber : Kisah Heroik 65 Orang Sahabat Rosulullah

No comments:

Post a Comment

Silakan Tuliskan Komentar Anda Tentang Blog Ini dan Juga Tentang Postingannya, Komentar dan Masukkan Anda Sangat Berarti Untuk Perkembangan Blog Ini

Beri Tahu Kami Jika Ada Link Download Yang Tidak Bekerja atau Tidak Bisa Dibuka
TERIMA KASIH...!!!